Perjalanan sepanjang
1445H adalah petualangan yang sungguh meletihkan. Bahkan, tantangannya sudah
kami desain sendiri saat rapat kerja 1444 di Subang. Merencanakan program kerja
adalah mengundang aneka risiko dan obstackle yang mungkin akan sukar
untuk diantisipasi. Namun, itulah seni meraih kinerja tertinggi. Itulah jalan
indah yang harus ditempuh. Semakin tinggi risiko, semakin berharga pencapaian
yang akan diraih.
Muharram 1446 kami berangkat ke Yogyakarta. Berduapuluhtiga. Tigabelas di antaranya adalah pemangku kepentingan Baladz sehari-hari. Artinya, yang tiga belas ini, terlibat langsung dengan operasional Baladz, sehari-hari, nyaris 24 jam.
Di sebuah
tempat, di lereng Gunung Merapi, Kaliurang, kami berikrar setia untuk menempuh
perjalanan baru tapi dengan pemandangan yang lama. Disebut baru, karena
medannya memang relatif lebih curam dan licin. Kami tidak menurunkan speed
walaupun harus berkelok-kelok, the long and winding road.
Disebut
dengan pemandangan lama karena memang setiap hari kami bertemu dengan orang
yang sama, tempat yang sama, dan papan tumpu yang sama. Kecuali ada beberapa
santri baru dan santri pindahan, tetapi semuanya adalah mereka-mereka yang
sejak 1443 lalu membersamai kami atau selalu bersama kami.
Di lereng
Gunung Merapi itu, semuanya menandatangani prasasti ‘Komitmen Kami’. Minimal
berjanji untuk membersamai Baladz untuk 360 hari mendatang. Berniat, dengan
segala sukacita, berada di tengah-tengah kerumunan manusia pembelajar dan
penghafal AlQuran, di degup dan pusat denyut jantung Baladz.
Bismillaah, Kami sepakat dengan target dan bertekad untuk mencapainya dengan segala risiko yang bakal menghadang.
Selesai
saling berbagi kisah dan share pengalaman di kelas-kelas, kami berkemas
untuk melakukan journey ke tempat yang memang sudah dirancang sejak dari
Baladz 2. Kami menyewa jeep untuk mendaki Merapi. Hmmh…. Mendaki,
padahal, hanya di lerengnya belaka. Itu pun hanya sampai di kaki Merapi yang
masih jauh dari puncaknya. Tapi, tak mengapa, itu pun sudah cukup memberikan
sensasi bertualang yang selama ini tak pernah terbayangkan. Apalagi, keseharian
kami masih di kisaran mengakrabi lembar-lembar silabi, berkutat dengan target
harian, menjagai murojaah, berjibaku dengan hafalan, dan harus siap dicaci
dalam evaluasi… Hmmhh… rutinitas yang (sangat) mendebarkan. Namun, semua itu
tidaklah mencekam. Lebih mendebarkan dibanting-banting di atas jeep yang
suspensinya sungguh tidak ramah.
Alhamdulillaah.
Alhamdulillaah. Alhamdulillaah. Kami bersyukur. Sangat bersyukur. Tahun ini kami ke lereng
Merapi. InsyaAllooh tahun depan, (mohon doa) kami ada di pelataran Ka’bah.
Kalau belum memungkinkan, direncanakan lagi tahun depannya. Kalau belum
Ditetapkan Allooh, kami akan terus meminta kepada Allooh. Kami akan berusaha
secerdas para petualang yang pintar menyiasati cuaca dan membaca peta. Seperti
demikian tangkasnya jeep driver menaklukkan jalan berbatu dan melintasi genangan
air yang membuat kami kuyup.
Demikian pun, kami akan kerja keras dan cerdas agar pantas bisa bersumpah setia dalam ketaatan kepadaNya dan kepada RosulNya, tepat di episentrum bumi, di pelataran Ka’bah. Tahun depan. Atau, tahun depannya lagi. Atau, kapanpun ketika Allooh sudah Memantaskan kami untuk bersimpuh dalam evaluasi menyeluruh, muhasabah terdalam di Baitullooh.
InsyaAllooh, aamiin.





